Ciremaitoday.com, Cirebon-Para investor mengeluhkan maraknya mafia tanah yang semakin merajalela di Kabupaten Cirebon. Pasalnya, para mafia tanah ini diduga telah memainkan harga jual beli tanah di kawasan industri daerah tersebut.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Cirebon, Asep Sholeh, menyatakan keprihatinannya terhadap situasi ini.
“Kami APINDO Kabupaten Cirebon sangat resah dengan adanya mafia tanah yang berkeliaran di sini. Hal ini jelas menjadi penghambat pertumbuhan investasi di Kabupaten Cirebon,” ujar Asep Sholeh kepada wartawan, Rabu (5/6).
Menurutnya, ulah mafia tanah merugikan petani dan investor. Para mafia, menggunakan pola curang saat transaksi jual beli lahan dengan petani.
“Petani hanya diberi DP saja dan diikat PPJB (perjanjian pengikatan jual beli), sehingga investor sulit mendapatkan tanah langsung dari petani. Ketika tanah sudah dikuasai mafia, harganya melambung tinggi, membuat investor enggan berinvestasi di Kabupaten Cirebon,” katanya.
Hal ini, kata dia, menyebabkan banyak investor yang akhirnya memilih daerah lain yang tak jauh dari Kabupaten Cirebon, seperti Brebes dan Majalengka untuk berinvestasi.
“Ini sangat merugikan Kabupaten Cirebon yang seharusnya memiliki pertumbuhan investasi tinggi untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan ekonomi,” ucapnya.
Imbasnya, lanjut Asep, APINDO kesulitan mengajak investor datang ke Kabupaten Cirebon.
“Baik itu perusahaan padat modal maupun padat karya, keduanya sulit karena masalah mafia tanah ini,” tambahnya.
Asep menggambarkan bagaimana mafia tanah membebani petani dengan DP yang rendah, seperti Rp 25 juta, tetapi tanpa kejelasan pembayaran selanjutnya.
“Kasihan para petani, mereka hanya dibebankan DP tanpa ada kejelasan. Ketika ada pembeli langsung, mafia ini memotong dan mengatakan tanah sudah milik mereka melalui DP atau PPJB,” ujarnya.
Lebih lanjut, Asep meminta adanya peran aktif dari pemerintah desa hingga pemerintah Kabupaten Cirebon, dan penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap para mafia tanah yang notabenenya bukan warga asli Cirebon.
“Pertumbuhan investasi akan terhambat jika masalah ini tidak ditangani dengan serius,” tegas Asep.
Asep menyebutkan, keluhan terhadap mafia tanah ini banyak datang dari wilayah Cirebon Timur.
“Hampir puluhan investor sudah mengeluh dan ada yang sudah pindah ke daerah lain karena harga tanah di sana lebih bersahabat,” ungkapnya.
Asep juga menceritakan contoh salah satu kasus di Desa Gebangudik, Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon di mana terjadi perselisihan antara investor dan mafia tanah.
“Misalnya, DP Rp 25 juta untuk tanah hektaran yang per meternya kisaran Rp 100 ribu, tapi harganya bisa naik sampai Rp 700 ribu karena dimainkan oleh mafia tanah,” ungkapnya.
Lebih parah lagi, kata dia, saat petani memutuskan untuk menjual lahannya secara langsung ke investor, karena bertahun-tahun tidak mendapat kepastian, mafia tanah yang sudah membayar DP meminta ganti rugi dengan jumlah yang tidak masuk akal dengan penekanan berbekal PPJB.
“Minta ganti rugi sampai ratusan juta,” katanya.
APINDO berharap ada tindakan tegas dari Pemerintah Kabupaten dan DPRD untuk mengatasi masalah ini.
“Kami perlu pendalaman lebih lanjut dan harus mengetahui di mana mafia tanah ini beroperasi,” pungkasnya. (Joni)