Ciremaitoday.com, Majalengka-Perseteruan politik internal PDIP Majalengka berlanjut ke meja hijau. Setelah merasa tidak mendapat kejelasan dari Mahkamah Partai terkait pemecatannya, Hamzah Nasyah memilih menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Negeri Majalengka.
Dalam sidang perdana yang digelar Senin (28/4), kuasa hukum DPC PDIP Majalengka, Indra Sudrajat, menyatakan bahwa gugatan Hamzah merupakan langkah prematur.
“Penonaktifan saudara Hamzah dikarenakan pelanggaran berat, melanggar kode etik partai, dan tindakan indisipliner terhadap perintah partai,” ujar Indra kepada wartawan usai sidang.
Indra, yang juga dikenal sebagai alumni GMNI, menegaskan pemecatan sudah sesuai aturan organisasi partai. Turut hadir mendampingi Indra dalam sidang tersebut sejumlah tokoh penting DPC PDIP Majalengka seperti Ketua DPRD H Didi Supriadi dan Sekretaris DPC Tarsono D Mardiana.
Indra memaparkan, Hamzah bukan satu-satunya kader yang diberhentikan. Ada tiga nama lain yang turut menerima sanksi, yakni Eti Rohaeti (Dapil 3), Tri Suseno (Dapil 2), dan Reza Bima (Dapil 1). Namun hanya Hamzah yang memilih menggugat ke pengadilan.
“Sesuai arahan DPP PDIP dan AD/ART Partai, kader PDIP yang melakukan pelanggaran berat harus diberhentikan secara tak hormat. Surat pemecatan sendiri itu langsung Ketua Umum DPP PDIP Hj Megawati Soekarnoputri yang menandatangani,” jelasnya.
Ia juga membantah anggapan yang menyebut pemecatan Hamzah berkaitan dengan rencana Pergantian Antar Waktu (PAW) kursi DPRD Majalengka.
Indra menegaskan keputusan pemecatan telah diambil lebih dulu dalam rapat pleno pengurus DPC PDIP Majalengka pada 6 Desember 2024. Bahkan almarhum Edy Anas Djunaedi, yang saat itu menjabat Wakil Ketua Bidang Kehormatan Partai, turut menandatangani surat keputusan tersebut sebelum wafat pada 30 Desember 2024.
“Keputusan ini murni penegakan kode etik dan disiplin partai, tak ada kaitannya dengan PAW. Saat pleno, almarhum Pak Edy Anas juga masih hidup dan menandatangani surat pemberhentian,” tegas Indra.
Menanggapi klaim Hamzah soal proses Mahkamah Partai, Indra menyebut proses tersebut belum selesai. Ia menyebut Hamzah baru mengajukan gugatan ke Mahkamah Partai pada 14 Februari 2025, dan seharusnya menunggu hingga batas waktu 60 hari.
“Ini menunjukkan bahwa gugatan Hamzah ke pengadilan bersifat prematur, karena proses di Mahkamah Partai belum tuntas. Kalau dihitung, Hamzah baru 37 hari menggugat ke Mahkamah Partai. Ini menunjukkan gugatannya terlalu dini,” ucap Indra.
Ia juga membeberkan bahwa proses persidangan perdata di Pengadilan Negeri maksimal berlangsung 60 hari, dan bila ada pihak yang tidak puas atas putusan, hanya tersedia jalur kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari. Artinya, seluruh rangkaian hukum hanya memakan waktu paling lama 90 hari.
“Kita PDIP siap sampai kasasi ke Mahkamah Agung juga,” tegasnya.
Indra menutup pernyataannya dengan menjelaskan tidak adanya istilah surat peringatan dalam kasus pelanggaran berat di internal PDIP.
“Yang ada itu teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau langsung pemecatan. Dalam kasus ini, keempat kader melakukan pelanggaran berat karena menentang perintah partai. Sebab ini menyangkut marwah dan harga diri partai,” pungkasnya. (Ardi)