Ilustrasi - Pelaksanaan ibadah haji di Makkah, Arab Saudi. (Antara)

Menteri Agama Bertolak ke Arab Saudi, Cek Kesiapan Haji hingga Umrah Backpacker

Ciremaitoday.com, Jakarta – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bertolak ke Arab Saudi untuk mengecek berbagai kesiapan penyelenggaraan ibadah haji 1445 Hijriah/2024 Masehi. Selain itu, dia juga ingin mengetahui perihal aturan Nusuk dan umrah backpacker.

“Saya ingin cek sejauh mana kesiapan haji di Saudi. Selain itu, sebenarnya saya juga ingin melihat peraturan Nusuk bagaimana terkait umrah backpacker yang sekarang jadi isu,” kata Yaqut, Kamis (21/3/2024).

Saat ini jajaran Kementerian Agama terus mematangkan layanan haji, seperti transportasi, akomodasi, konsumsi, dan berbagai layanan lainnya di Arab Saudi. Perihal umrah backpacker, Menag akan meninjau kesesuaian regulasi antara peraturan dari Arab Saudi dengan Indonesia.

Saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI, 18 Maret 2024, Menag menyampaikan perlu disediakan regulasi yang mengatur terkait meningkatnya fenomena umrah backpacker.

“Tujuan dan sasarannya adalah bagaimana setiap warga negara yang umrah terjamin kesehatan, keselamatan, dan kenyamanannya, termasuk jamaah umrah backpacker,” ucapnya.

Ia berharap regulasi yang akan disusun dibuat pantas, tepat, dan baik, serta mampu mengakomodasi kebutuhan jamaah umrah, terutama perlindungan jamaah. Dalam proses penyusunannya, Menag menuturkan bahwa Kementerian Agama akan mengkoordinasikan secara bersama seluruh PPIU, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), serta Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU).

“Apabila dibutuhkan, dibangun sistem yang baik dan terintegrasi, dengan PPIU, PIHK dan KBIHU dalam memberikan layanan kepada jamaah, terutama yang akan umrah,” ujar Menteri Agama.

Sementara itu, pengamat haji dan umrah, Muhammad Hidir Andi Saka, mengingatkan bahwa umrah backpacker memiliki risiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu, lanjutnya, calon jamaah umrah harus diedukasi secara benar tentang umrah backpacker, khususnya bagi calon jamaah yang baru pertama kali hendak umrah di tanah suci.

“Jangan karena tergiur murah, namun mereka mendapat kesulitan yang besar selama melakukan kegiatan ritual di Haramain (dua tanah suci). Setidaknya ada empat risiko dihadapi calon jamaah yang melakukan umrah backpacker,” kata Hidir, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara.

Risiko pertama, lanjut dia, segala sesuatu yang tidak diserahkan kepada ahlinya maka akan menimbulkan masalah. Seperti visa umrah yang tidak mungkin dikeluarkan jika tidak melalui visa provider.

Menurut dia, calon jamaah tetap akan melalui travel sebelum melakukan perjalanan ke tanah suci.

“Sudah jelas visa provider itu adalah travel yang sudah terdaftar resmi di Pemerintah,” kata Hidir.

Risiko kedua adalah penanganan barang bawaan, baik saat di bandara keberangkatan maupun kedatangan. Jika calon jamaah tidak mengerti seluk beluk keimigrasian, menurut Hidir, akan membawa masalah yang menyita waktu.

“Kalau jamaah kehilangan barang di bandara, maka itu akan merugikan dia. Mengurus itu semua tidak sebentar. Belum lagi kalau jamaah tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris,” jelasnya.

Ketiga, jamaah backpacker akan kurang leluasa di tanah suci karena terlalu menghemat biaya akomodasi dan konsumsi. Jika dibiarkan seperti itu, jamaah bisa jatuh sakit karena fisiknya tidak tahan dengan cuaca di Mekkah atau Madinah.

“Mereka tidak mau mengeluarkan uang untuk sewa hotel selama umrah. Ini tentu menyiksa, karena suhu udara di tanah suci sangat panas. Kalau menginap di hotel, maka setidaknya jamaah memiliki banyak waktu untuk istirahat secara baik,” imbuhnya .

Keempat, jamaah backpacker kebanyakan menggunakan maskapai murah yang terlalu banyak transit di beberapa negara. Hal ini, kata Hidir, akan membuang-buang waktu dan energi.

“Maksud hati menghemat biaya, namun pada akhirnya akan keluar biaya besar juga. Ketika transit di banyak negara, pasti akan keluar biaya konsumsi yang juga tidak sedikit,” kata pria yang juga pemilik Qashwa Tour and Travel. (*)

Array
header-ads

Berita Lainnya