Ciremaitoday.com, Indramayu – Dua hari ini lini masa di beranda media sosial (medsos) di Facebook, ramai dengan postingan ibu-ibu yang mengeluhkan kenaikan tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Dharma Ayu yang bahkan kenaikannya sampai 100 persen. Padahal, sebelumnya tidak ada pemberitahuan atau informasi terkait kenaikan tarif.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kabupaten Indramayu mencoba menelusuri pemberitaan di media online. Dalam pemberitaan halaman utama Google, artinya berita terbaru, informasi kenaikan tarif PDAM terjadi pada Februari 2023 lalu. Meskipun sejak sosialisasi di Januari 2023 mengalami penolakan dari berbagai elemen masyarakat di Indramayu, sehingga kenaikan tarif dibatalkan secara sepihak oleh PDAM. Pasca itu tidak ada informasi lagi tentang kenaikan tarif.
Jadi, ketika beberapa hari terakhir ada kenaikan tarif PDAM yang dialami oleh pelanggan, terutama para perempuan, maka harus dipertanyakan, sebab tidak ada informasi dan sosialisasi sebelumnya dari pihak PDAM sendiri.
Pentingnya Air bagi Kehidupan Perempuan
Mengutip data Badan Pusat Statistik pada 2022, ada lebih dari 8 juta perempuan dari 17,74 juta penduduk miskin yang berdomisili di kawasan pesisir Indonesia rentan menderita gangguan kesehatan karena buruknya layanan air minum dan infrastruktur sanitasi di permukiman mereka.
Resiko diperparah oleh dampak perubahan iklim. Gangguan kesehatan yang dimaksud berupa penyakit kulit, diare, demam berdarah, malaria, dan TB paru.
“Padahal, perempuan secara alami hidupnya sangat dekat dengan air. Begitu air sangat sulit ditemui, perempuan menjadi sosok yang paling terdampak dan rentan mengalami kekerasan berbasis gender,” kata Darwinih aktivis KPI, Senin (02/12). Kenyataan ini sebagaimana yang dijelaskan Dosen Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran Binahayati Rusyidi, MSW, PhD, yang telah melakukan riset mengenai hubungan kelangkaan air dengan kekerasan terhadap perempuan.
Melalui laman resmi Universitas Padjajaran Titi menjelaskan, secara sosial, peran gender banyak mendekatkan perempuan dengan air. Di antaranya mengurus rumah tangga, mengurus anak, hingga mengurus kebutuhan reproduktif (Menstruasi, Hamil, Melahirkan, Nifas dan Menyusui). Tidak hanya itu, di berbagai budaya, kaum perempuan memiliki tugas untuk mengumpulkan air sebagai refleksi dari perannya sebagai ibu dan istri yang mengurus rumah tangga.
Mengabaikan Penyelenggara Negara Memicu Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan juga dimungkinkan karena “diabaikan” oleh penyelenggara negara. Titi menjelaskan, pengabaian negara terhadap kemudahan akses air bagi masyarakat juga menjadi faktor pemicu kekerasan berbasis gender. Padahal, sebagai kaum yang secara lahiriah lebih banyak membutuhkan air, akses terhadap air dan sanitasi harus dijamin pemerintah. Ini juga erat kaitannya dengan salah satu goal dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu jaminan akses air bersih dan sanitasi.
Di samping itu sistem masyarakat yang masih cenderung patriarki kerap tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengambilan keputusan. Ini juga berlaku dalam urusan aksesibilitas air. Tidak dilibatkannya perempuan dalam pengambilan keputusan akan menyebabkan perempuan kurang terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Titi mengandaikan jika para pengambil keputusan mengutamakan sensitivitas gender, mungkin masalahnya bisa diminimalisasi. Sebab konstruksi gender ini menyempitkan peran perempuan, sehingga perempuan dituntut untuk mengurus peran-peran domestik.
Lantas, masih di laman yang sama, Titi yang juga Ketua Program Studi Doktor Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad ini mengajukan pertanyaan, mengapa laki-laki tidak dituntut mengurus peran domestik? Karena di masyarakat kita peran gender men-segregasi peran dunia publik dan domestik. Perempuan dituntut di dunia domestik, sedangkan laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah yang harus keluar rumah.
Ketika akses sudah lebih baik, seharusnya peran-peran perempuan menggunakan air akan lebih mudah dan murah juga. Mempermudah akses air akan membantu mengurangi beban perempuan, bahkan mengurangi tindak kekerasan berbasis gender. Titi juga menegaskan kondisi akses air bersih di Indonesia belum merata.
Terkait hal ini, KPI juga melihat masih belum meratanya akses air bersih di Indramayu. Masih banyak wilayah yang sulit mendapatkan air, sehingga ini menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama.
“Bagaimana agar para perempuan di Indramayu mendapatkan kemudahan akses dan layanan air bersih melalui PDAM Tirta Dharma Ayu. Kami berharap, PDAM Tirta Dharma Ayu bisa memberi penjelasan terkait akses layanan air bersih serta tarif air saat ini,” ujar Darwinih. (*)