Ciremaitoday.com, Cirebon-Indonesia adalah ironi negeri lumbung padi. Harga beras yang mengalami lonjakan dalam beberapa waktu terakhir semakin menambah suram beban perekonomian rakyat.
Harga rata-rata nasional beras premium diperdagangkan di level Rp16.390 per kilogram (kg) sementara beras medium diperdagangkan di level Rp14.320 per kg. (Bapanas, 26 Februari 2024).
Ketua Umum PB HMI MPO 2023-2025, Mahfut Khanafi menuntut pemerintah sebaiknya mengambil langkah sigap dan cepat dalam mengendalikan harga beras di pasaran.
Kita tidak menutup mata bahwa sejumlah faktor membuat harga beras makin mahal. Sebut saja karena adanya faktor el nino dan perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen. Lalu, ada juga faktor global yang disebabkan oleh pelarangan impor beras di India.
“Tapi setidaknya pemerintah harus bergerak lebih sigap,” kata Mahfut dalam keterangannya, Selasa (20/2).
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) tersebut menilai jika harga beras dibiarkan naik tanpa terkendali, maka biaya produksi makanan juga cenderung meningkat, karena beras menjadi bahan baku dalam banyak produk makanan yang dikonsumsi rakyat.
“Lihatlah pengusaha warteg, lihatlah mereka yang berjualan nasi uduk, bubur ayam, nasi goreng setiap hari. Kenaikan harga beras akan mendorong naiknya biaya produksi ini dan akan mendorong naiknya harga-harga lainnya. Mau tidak mau produsen akan menaikkan harga untuk menutupi biaya tambahan, dampaknya rakyat lagi yang jadi korban,” tegas Mahfut.
Ketua Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) 2023-2025 ini menjelaskan Indonesia merupakan negara dengan konsumsi beras global terbesar keempat di dunia dengan kebutuhan 35,3 juta metrik ton sepanjang tahun lalu.
Sementara produksi beras pada 2023 di Indonesia untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 31,54 juta ton.
“Jika kebutuhan konsumsi beras tahun lalu 35,3 juta metrik ton, maka ada defisit kebutuhan 4,4 juta ton untuk masyarakat,” ujarnya
Mahfut kembali menjelaskan persoalan kronis rantai pangan nasional di tengah konsumsi yang membumbung dan produksi yang terganggu, pemerintah gencar melakukan impor beras. Tahun lalu, pemerintah juga mendatangkan impor beras mencapai 3,06 juta ton.
Namun, kakunya proses impor juga menyebabkan impor pangan tidak tepat waktu dan tak bisa segera menurunkan harga beras yang sudah kadung melambung.
Permendag Nomor 1/2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras menyebut Bulog adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengimpor beras untuk kepentingan umum.
Namun Bulog hanya bisa mengimpor setelah mendapat penugasan oleh pemerintah melalui hasil rapat koordinasi terbatas di tingkat kementerian.
“Keputusan impor yang kaku dan panjang ini menyebabkan impor dilaksanakan tidak tepat waktu, seperti saat menjelang panen raya atau ketika harga beras di tingkat internasional sedang tinggi. Ini penyakitnya Bulog dari dulu, sering mengimpor beras dalam jumlah besar ketika harga beras sudah kadung naik,” ujarnya Mahfut.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti hadirnya Badan Pangan Nasional juga tak memperbaiki apa-apa dalam dua tahun terakhir.
“Berdasarkan Perpres Nomor 66/2021 badan ini kan bertugas untuk melakukan tugas pemerintahan di bidang pangan yang sebelumnya tersebar di berbagai kementerian teknis. Pemusatan ini diharapkan dapat mempermudah proses koordinasi lintas sektor untuk membuat kebijakan impor lebih efektif dan tepat sasaran. Tapi kenyataannya tidak demikian,” ujarnya Mahfut.
Di bawah kondisi tersebut, menurutnya peran Perum Bulog dan Bapanas ini perlu ditelaah kembali.
Mahfut menilai, monopoli Perum Bulog untuk impor beras kualitas menengah harus dihapuskan. Perusahaan swasta harus bisa mengakses sistem perizinan otomatis dan mengimpor beras kualitas menengah ke Indonesia.
“Sektor swasta harus memainkan peran yang lebih besar dalam pasar beras domestik. Dalam situasi ini, Perum Bulog dan Bapanas sebaiknya berpartisipasi dalam pendistribusian beras saat situasi darurat. Peraturan Presiden No.48/2016 Pasal 8 perlu direvisi guna mengizinkan Perum Bulog untuk fokus melindungi konsumen melalui program bantuan bencana,”kata Mahfut.
Tak hanya itu, Mahfut juga menyoroti gagalnya proyek Food Estate juga menambah panjang daftar ironi negeri lumbung padi. Proyek lumbung pangan yang seharusnya meningkatkan cadangan pangan nasional ini hanya menyisakan beban anggaran yang menggunung, kerusakan hutan, dan hilangnya keadilan ekologis.
“Contoh saja, terlihat dari analisis spasial baru-baru yang dilakukan oleh Pantau Gambut menemukan lebih dari 1.500 hektar hutan telah dibuka di desa Tewai Baru, kabupaten Gunung Mas di Provinsi Kalimantan Tengah,” ujarnya.
Sebagai informasi, sekitar 700 hektar hutan di kawasan tersebut telah dibuka untuk perkebunan singkong di bawah proyek food estate.
Estimasi angka ini mirip dengan yang dilakukan Greenpeace Indonesia pada 2022, yang menyatakan 760 hektar hutan telah di buka di Kabupaten Gunung Mas, sejak November 2020.(*)